Senin, 28 Desember 2009

UJIAN SEMESTER I

MATA KULIAH LANDASAN DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN

  1. Memahami filsafat sebagai salah satu fondasi dalam pengembangan pendidikan merupakan codito sine qua non bagi ilmuwan maupun professional bidang pendidikan. Beri tanggapan atas pernyataan itu ? Jawaban dengan realitas proses pendidikan atau pembelajaran dapat memperjelas tanggapan saudara.

Jawaban :

- Conditio sine qua non

Conditio sine qua non dalam bahasa Latin menurut kamus hukum edisi lengkap adalah syarat mutlak atau dalam bahasa Inggris disebut “Absolute (ly) condition” yang menyatakan bahwa suatu syarat mutlak harus dicantumkan atau dinyatakan untuk menguatkan atau menetapkan sesuatu perjanjian itu berlaku. Penerapan teori Conditio sine qua non yang dicetuskan oleh Von Burie kemudian menjadi tren dalam menetapkan satus tersangka pidana pembunuhan. Hal ini disebabkan karena adakalanya penyidik sulit menemukan bukti langsung yang sangat kuat untuk dapat dijadikannnya seseorang sebagai tersangka.

- Ilmuwan dan profesional

Ilmuwan adalah orang yang mempunyai kemampuan yang dimiliki untuk mengembangkan dan menyelesaikan suatu permasalahan yang dilaksanakan. Sedangkan Profesionalisme adalah cara bekerja yang sangat didominasi oleh sikap , bukan hanya satu set daftar dari skill dan kompetensi yang dimiliki. Dapat dicermati bahwa attitude adalah sikap yang mendasar sementara skill adalah suatu hal yang dapat dipelajari dan diajarkan.

- Filsafat ilmu

Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.

- Realitas pendidikan

Dalam konteks pemahaman tentang proses belajar-mengajar, guru dihadapkan pada sesuatu yang secara conditio sine qua non harus diaktualisasikan dalam bentuk pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan. Fenomena yang berkembang di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar guru terbiasa mendesain pembelajaran yang “memenangkan” guru. Artinya, guru lebih senang dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar bagi siswa (teacher centered).

Pembelajaran didasarkan target kurikulum, juga merupakan refleksi dari saratnya beban dan materi pelajaran sehingga guru cenderung mengejar penyelesaian materi daripada mengoptimalkan substansi dari kristalisasi nilai-nilai yang seyogyanya diaktualisasikan. Artinya, guru kurang peduli dengan pentingnya kecakapan hidup (life skill) yang harus dikuasai siswa, dan lebih mementingkan pencapaian hasil belajarnya.

Kondisi tersebut sudah barang tentu rentan akan berbagai dampak negatif yang muaranya pada kualitas pendidikan di mana berada pada ambang batas “kekawatiran”. Problematika yang kompleks dalam dunia pendidikan merupakan tantangan guru, yang harus diupayakan alternatif pemecahannya. Hal ini lantaran stakeholder dalam dunia pendidikan adalah orang tua, guru, masyarakat, institusi, dan para praktisi pendidikan yang diharapkan sumbang sarannya.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagai upaya pencapaian target kurikulum guru cenderung “memaksa” siswa menerima. Pengajaran tanpa mempertimbangkan apakah siswa mampu menguasai serta mengerti dengan apa yang ia pelajari. Kondisi dapat dilihat dari berbagai aktivitas guru, di antaranya: (1) guru memberi les/pelajaran tambahan secara berlebihan dan cenderung menerapkan metode drill, (2) guru hanya menjadi “tukang LKS”, (3) guru memberi pelajaran tidak sistematis, (4) guru memberikan PR dalam jumlah yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa, dan (5) pengajaran tanpa media.

Ada beragam teknik yang dapat digunakan guru untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif, kreatif, konstruktif, ceria, dan menyenangkan serta memberi ruang gerak anak untuk berkreasi, sesuai daya imajinasi masing-masing. Apabila kondisi tersebut dapat didesain guru sudah barang tentu akan bersampak pada meningkatnya kualitas pembelajaran.

Pembelajaran yang berkualitas pada akhirnya bermuara pada penciptaan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Paradigma tersebut kemudian dikenal dengan istilah PAKEM dan mendapatkan rekomendasi dari UNESCO sebagai satu bentuk pembelajaran efektif, dengan mengacu pada empat pilar pendidikan, yakni belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).

  1. Dalam menyiapkan peserta didikmemahami kompleksitas dan tantangan global, perlu dikembangan system pendidikan berwawasan multikultur. Bagaimana pendapatan saudara tentang pernyataan itu?

Jawaban:

- Landasan kurtur (multikultur) :

Pengertian Landasan Kultural

Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat dilestarikan/ dikembangkan dengan jalur mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baiksecara formal maupun informal.

Anggota masyarakat berusaha melakukan perubahan-perubahan yang sesuai denga perkembangan zaman sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nlai-nilai, dan norma-norma baru sesuai dengan tuntutan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola-pola ini disebut transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga.

Landasan kultural mengandung makna norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan berbudaya yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan berbudaya suatu bangsa kita harus memusatkan perhatian kita pada berbagai dimensi (Sastrapratedja, 1992:145): kebudayaan terkait dengan ciri manusia sendiri sebagai mahluk yang “belum selesai” dan harus berkembang, maka kebudayaan juga terkait dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia yang asasi: (1) kebudayaan dapat dipahami sebagai strategi manusia dalam menghadapi lingkungannya, dan (2) kebudayaan merupakan suatu sistem dan terkait dengan sistem sosial. Kebudayaan dari satu pihak mengkondisikan suatu sistem sosial dalam arti ikut serta membentuk atau mengarahkan, tetapi juga dikondisikan oleh sistem sosial.

Dengan memperhatikan berbagai dimensi kebudayaan tersebut di atas dapat dikemukakan, bahwa landasan kultural pendidikan di Indonesia haruslah mampu memberi jawaban terhadap masalah berikut: (1) semangat kekeluargaan dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan pendidikan, (2) rule of law dalam masyarakat yang berbudasya kekeluargaan dan kebersamaan,(3) apa yang menjadi “etos” masyarakat Indonesia dalam kaitan waktu, alam, dan kerja, serta kebiasaan masyarakat Indonesia yang menjadi “etos” sesuai dengan budaya Pancasila; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras tangguh bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil, sehat jasmani dan rohani, dan (4) cara bagaimana masyarakat menafsirkan dirinya, sejarahnya, dan tujuan-tujuannya. Bagaimana tiap warga memandang dirinya dalam masyarakat yang integralistik, bagaimana perkembanga cara peningkatan hrkat dan martabat sebagai manusia, apa yang menjadi tujuan pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.

Kebudayaan sebagai Landasan Sistem Pendidkan Nasional

Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik di setiap daerah itu melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari kebineka tunggal ikaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini harsulah dilaksanakan dalam kerangka pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara indonesia sebagai sisi ketunggal-ikaan.

- Tantangan global komplesitas

Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan dengan kompleksitas ancaman dan tantangan pada era kemajuan teknologi informasi saat ini. Tantangan dan ancaman di era kompetisi global ini diwarnai dengan perubahan paradigma perang masa kini diantaranya meliputi perang otak, perang selisih keunggulan (brand power), perang informasi, perang daya cipta dalam percaturan ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan dan bidang budaya.

Perubahan itu menuntut setiap negara harus memiliki suatu strategi dalam menghadapinya. Strategi tersebut menjadi sangat penting, mengingat ancaman yang terjadi berada pada semua aspek kehidupan Idiologi Politik Ekonomi Sosial dan Budaya (Ipoleksosbud) dan Teknologi Informasi (tekinfo). Semua itu memiliki kemampuan yang dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa.

Tantangan global tidak bisa di anggap sederhana, karena akan membahayakan generasi penerus dan Keutuhan NKRI. Sehinggga perlu adanya pemahaman wawasan kewilayahan dan kultur atau sering disebut dengan wawasan nusantara. Pemahaman ini harus mempunyai pengaruh kulitas output pendidik

Bagan komponen yang turut mempengaruhi kualitas output pendidikan

a. Pendidikan sebagai proses transformasi budaya

Pendidikan yang diartikan sebagai proses transformasi budaya adalah sebuah kegiatan pewarisan budaya dari satu genarasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, pendidikan berkaitan dengan kebiasaan dalam suatu komunitas. Misalnya, berkenaan dengan kebiasaan tentang perkawinan di suatu tempat, acara pesta sunat rasul, dan kegiatan adat lainnya. Semua itu, berkenaan bagaimana memberikan sebuah pendidikan kepada generasi berikutnya tentang kegiatan dan kebiasaan yang dilakukan dalam komunitas tersebut. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai suatu nilai yang kemudian mengalami proses transformasi dari generasi ke generasi.

Menurut Tirtarahardja dan S.L. La Sulo, dalam bukunya “Pengantar Pendidikan”, ada tiga bentuk tranformasi pendidikan, yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan, misalnya nilai kejujuran; nilai yang kurang cocok untuk diperbaiki, misalnya tata cara perkawinan; dan nilai yang tidak cocok untuk diganti, misalnya tentang beberapa hal yang dianggap tabu untuk dipakai/diterapkan zaman sekarang (2005:33-34).

Hal ini memperlihatkan bahwa proses pewarisan budaya tidak semata-mata mengekalkan budaya secara estafet. Pendidikan justru mempunyai tugas mempersiapkan peserta didik untuk hari esok. Untuk mesti disadari bahwa pendidikan merupakan subsistem dari sistem pembangunan nasional.

b. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi

Sebagai pembentukan pribadi, pendidikan diartikan menjadi kegiatan yang sistematis dan sistemik. Terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Dikatakan sistematis karena proses pendidikan berlangsung melalui tahap-tahap kesinambungan (prosedural). Disebut sistemik karena berlangsung dalam semua situasi dan kondisi.

Proses pembentukan pribadi meliputi dua sasaran, yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa dan pembentukan pribadi bagi mereka yang sudah dewasa. Keduanya dikatakan Tirtarahardja berlangsung secara alamiah dan menjadi sebuah keharusan (2005:35). Pembentukan pribadi tersebut mencakup pembentukan cipta, rasa, dan karsa (kognitif, afektif, dan psikomotor) yang sejalan dengan pengembangan fisik.

c. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara

Pendidikan sebagai penyiapan warga negara diartikan menjadi suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik. Warga negara yang baik di sini relatif, tergantung falsafah negara masing-masing. Bagi Indonesia, warga negara yang baik diartikan selaku pribadi yang tahu hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hal ini tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tak ada kecualinya.

d. Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja

Batasan pendidikan ini dimaksudkan untuk membimbing peserta didik memiliki dasar untuk bekerja. Pendidikan diberikan berupa pembekalan dasar seperti pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja. Hal ini sesuai UUD 1945 pasal 27 ayat (2), yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selanjutnya, dalam GBHN (BP 7 Pusat) butir 23 disebutkan bahwa pemerataan lapangan kerja dan kesempatan kerja serta memberikan perhatian khusus pada penanganan angkatan kerja usia muda.

  1. Landasan psikologi menunjukan bahwa pada dasarnya anak jenius itu menjadi berbeda satu dengan yang lain?

- Landasan psikologi

Secara etimologis psikologis berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa atau nafas hidup, dan “logos” atau ilmu, dilihat dari arti kata tersebut seolah-olah psikologis merupakan ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jika kita mengacu pada salah satu syarat ilmu yakni adanya obyek yang dipelajari, maka tidaklah tepat jika kita mengartikan psikologis sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang jiwa, karena jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak dan tidak bisa diamati secara langsung. Berkenaan dengan hal ini maka psikologis dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Landasan Psikologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari studi ilmiah dalam bidang psikologi yang menjadi sandaran, tumpuan atau titik tolak studi dan praktek pendidikan Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan. Psikologi pendidikan merupakan salah satu cabang ilmu pendidikan yang dipengaruhi oleh perkembangan dan hasil-hasil penelitian psikologi, yang bertolak dari asumsi bahwa pendidikan ialah hal ihwal individu yang sedang belajar.

Keunikan sifat pribadi seseorang itu terbentuk karena peranan tiga faktor penting, yakni: (1) keturunan/heredity, (2) lingkungan/environment, (3) diri/self.

Faktor Keturunan

Sejak terjadinya konsepsi, yakni proses pembuahan sel telur oleh sel jantan, anak memperoleh warisan sifat-sifat pembawaan dari kedua orang tuanya yang merupakan potensi-potensi tertentu. Potensi ini relatif sudah terbentuk (fixed) yang sukar berubah baik melalui usaha kegiatan pendidikan maupun pemberian pengalaman. Beberapa ahli ilmu pengetahuan terutama ahli biologi menekankan pentingnya faktor keturunan ini bagi pertumbuhan fisik, mental, maupun sifat kepribadian yang diinginkan. Pandangan ini nampaknya memang cocok untuk dunia hewan. Namun demikian, dalam lingkungan kehidupan manusia biasanya potensi individu juga merupakan masalah penting. Sedang para ahli ilmu jiwa yang menekankan pentingnya lingkungan seseorang dalam pertumbuhannya cenderung mengecilkan pengaruh pembawaan ini (naïve endowment). Mereka lebih menekankan pentingnya penggunaan secara berdaya guna pengalaman sosial dan edukasional agar seseorang dapat bertumbuh secara sehat dengan penyesuaian hidup secara baik.

Faktor Lingkungan

Sebagaimana diterangkan di muka, lingkungan kehidupan itu terdiri dari lingkungan yang bersifat sosial dan fisik. Sejak anak dilahirkan bahkan ketika masih dalam kandungan ibu, anak mendapat pengaruh dari sekitarnya. Macam dan jumlah makanan yang diterimanya, keadaan panas lingkungannya dan semua kondisi lingkungan baik yang bersifat membantu pertumbuhan maupun yang menghambat pertumbuhan. Sama pentingnya dengan kondisi lingkungan anak yang berupa sikap, perilaku orang-orang di sekitar anak. Kebiasaan makan, berjalan, berpakaian, itu bukan pembawaan, melainkan hal-hal yang diperoleh dan dipelajari anak dari lingkungan sosialnya. Bahasa yang dipergunakan merupakan media penting untuk menyerap kebudayaan masyarakat dimana anak tinggal. Tidak saja makna hafiah kata yang terdapat dalam bahasa itu melainkan juga asosiasi perasaan yang menyertai kata dalam perbuatan.

Faktor Diri

Faktor penting yang sering diabaikan dalam memahami prinsip pertumbuhan anak ialah faktor diri (self), yaitu faktor kejiwaan seseorang. Kehidupan kejiwaan itu terdiri dari perasaan, usaha, pikiran, pandangan, penilaian, keyakinan, sikap, dan anggapan yang semuanya akan berpengaruh dalam membuat keputusan tentang tindakan sehari-hari. Apabila dapat dipahami diri seseorang, maka dapat dipahami pola kehidupannya. Pengetahuan kita tentang pola hidup seseorang akan dapat membantu kita untuk memahami apa yang menjadi tujuan orang itu dibalik perbuatan yang dilakukan. Seringkali kita menginterpretasikan pengaruh pembawaan dan lingkungan secara mekanis tanpa memperhitungkan faktor lain yang tidak kurang pentingnya bagi pertumbuhan anak, yaitu diri (self). Memang pengaruh pembawaan dan lingkungan bagi pertumbuhan anak saling berkaitan dan saling melengkapi; tetapi masalah pertumbuhan belum berakhir tanpa memperhitungkan peranan self, yakni bagaimana seseorang menggunakan potensi yang dimiliki dan lingkungannya. Di sinilah pemahaman tentang self atau pola hidup dapat membantu memahami seseorang. Self mempunyai pengaruh yang besar untuk menginterprestasikan kuatnya daya pembawaan dan kuatnya daya lingkungan. Contoh yang ekstrim ada anak yang cacat fisik, tetapi beberapa fungsinya tetap berdaya guna, sedang anak cacat yang lain menggunakan kecacatannya sebagai suatu alasan untuk ketidakmampuannya. Ini tidak lain karena pernana self. Self berinteraksi dengan pembawaan dan lingkungan yang membentuk pribadi seseorang.

- Mengapa disebut jenius ?

Tiap Anak Memiliki Kecerdasan yang Berbeda-beda Sebagaimana diterangkan di atas, sejak anak dilahirkan, mereka itu memiliki potensi yang berbeda-beda dan bervariasi. Pendidikan memberi hak kepada anak untuk mengembangkan potensinya. Dikatakan mereka memiliki usia kronologis yang sama, tetapi usia kecerdasan yang tidak sama. Jadi setiap anak memiliki indeks kecerdasan yang berbeda-beda. Indeks kecerdasan atau IQ diperoleh dari hasil membagi usia kecerdasan denga usia kalender (usia senyatanya) dikalikan 100. Baik usia kecerdasan maupun usia kronologis (usia senyatanya) dinyatakan dalam satuan bulan.

Contoh:
Seorang anak dengan usia kecerdasan 10 tahun dan 6 bulan (126 bulan) diambil dari hasil tes intelegensi yang valid dan reliabel. Usia kronologisnya 10 tahun dan 6 bulan (126 bulan), maka IQ anak tersebut 100. Untuk kepentingan praktis IQ normal ditentukan antara 90 – 10. Dengan melihat indeks kecerdasan anak, kita dapat mengklasifikasi anak itu pada kecerdasan tertentu.

Klasifikasi Kecerdasan
> 140 = Genius
130 – 139 = Sangat Pandai
120 – 129 = Pandai
110 – 119 = Di atas Normal
90 –109 = Normal/Sedang
80 – 89 = Di bawah Normal
70 – 79 = Bodoh
50 – 69 = Feeble Minded: Moron
< 49 =" Feeble">

Pada umumnya kata jenius dipakai untuk menyebut kelompok orang yang mencapai skore 130 ke atas dalam tes kecerdasan (tes IQ). Menurut Thomas Amstrong arti jenius tersebut tidak tepat lagi digunakan. Kini sudah banyak diyakini orang bahwa IQ bukanlah penentu utama keberhasilan seseorang. Pengaruh kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan mengatasi hambatan (AQ) kini dipercayai lebih penting dalam menentukan keberhasilan seseorang.

Ciri-ciri Jenius

Berdasarkan arti jenius diatas Thomas Amstrong mengenalkan 12 ciri-ciri dasar kejeniusan seseorang. Seseorang dikatakan jenius bila memiliki : rasa ingin tahu yang besar, jenaka, imajinatif, kreatif, rasa takjub, bijaksana, penuh daya cipta, penuh vitalitas, peka, flexibel, humoris dan gembira.

Dalam masyarakat hanya terdapat dua kelompok manusia yang cenderung memiliki sebagian besar ciri-ciri di atas. Kelompok yang pertama adalah orang-orang sukses dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka antara lain para ilmuwan terkemuka, negarawan, budayawan ternama dan para pemimpin dunia usaha. Kelompok yang kedua adalah anak-anak. Sebagian besar ciri-ciri dasar jenius di atas terdapat dalam diri anak-anak. Anak-anak pada usia pra sekolah dan anak-anak TK adalah pribadi yang penuh vitalitas, tidak mau diam, gembira, suka bermain, penuh rasa ingin tahu, penuh rasa takjub, kreatif mau mencoba segala sesuatu dan jenaka.

Menurut penelitian Howard Gardner, di dalam diri setiap anak tersimpan delapan jenis kecerdasan yang siap berkembang. Ia memetakan lingkup kemampuan manusia yang luas tersebut menjadi delapan kategori yang komprehensif atau delapan “kecerdasan dasar”.

  1. Kecerdasan Linguistik. Kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan (misalnya, pendongeng, orator, atau politisi) maupun tertulis (misalnya, sastrawan, penulis drama, editor, wartawan). Kecerdasan ini meliputi kemampuan memanipulasi tata bahasa atau struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa, semantik atau makna bahasa, dimensi pragmatik atau penggunaan praktis bahasa. Penggunaan bahasa ini antara lain mencakup retorika (penggunaan bahasa untuk memengaruhi orang lain melakukan tindakan tertentu), mnemonik/hafalan (penggunaan bahasa untuk mengingat informasi), eksplanasi (penggunaan bahasa untuk memberi informasi), dan metabahasa (penggunaan bahasa untuk membahas bahasa itu sendiri).
  2. Kecerdasan Matematis – Logis. Kemampuan menggunakan angka dengan baik (misalnya, ahli matematika, akuntan pajak, ahli statistik) dan melakukan penalaran yang benar (misalnya, sebagai ilmuwan, pemrogram komputer, atau ahli logika). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada pola dan hubungan logis, pernyataan dan dalil (jika-maka, sebab-akibat), fungsi logis dan abstraksi abstraksi lain. Proses yang digunakan dalam kecerdasan matematis-logis ini antara lain : kategorisasi, klasifikasi, pengambilan kesimpulan, generalisasi, penghitungan, dan pengujian hipotesis.
  3. Kecerdasan Spasial. kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat (misalnya, sebagai pemburu, pramuka, pemandu) dan mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut (misalnya, dekorator interior, arsitek, seniman, atau penemu). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada warna, garis, bentuk, ruang, dan hubungan antarunsur tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan membayangkan, mempresentasikan ide secara visual atau spasial, dan mengorientasikan diri secara tepat dalam matriks spasial.
  4. Kecerdasan Kinestetis-Jasmani. Keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan (misalnya, sebagai aktor, pemain pantomim, atlet, dan penari) dan keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu (misalnya, sebagai perajin, pematung, ahli mekanik, dokter bedah). Kecerdasan ini meliputi kemampuan kemampuan fisik yang spesifik, seperti koordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, dan kecepatan maupun kemempuan menerima rangsangan (proprioceptive) dan hal yang berkaitan dengan sentuhan (tactile&haptic).
  5. Kecerdasan Musical. Kemampuan menangani bentuk bentuk musical, dengan cara mempersepsi (misalnya, sebagai penikmat musik), membedakan (misalnya, sebagai kritikus musik), menggubah (misalnya, sebagai komposer), dan mengekspresikan (misalnya, sebagai penyanyi). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada irama, pola titinada atau melodi, dan warna nada atau warna suara suatu lagu. Orang dapat memiliki pemahaman musik figural atau “atas-bawah” (global, intuitif), pemahaman formal atau “bawah-atas” (analitis-teknis), atau keduanya.
  6. Kecerdasan Interpersonal. Kemampuan memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada ekspresi wajah, suara, gerak-isyarat; kemampuan membedakan berbagai macam tanda interpersonal; dan kemampuan menanggapi secara efektif tanda tersebut dengan tindakan pragmatis tertentu (misalnya, memengaruhi sekelompok orang untuk melakukan tindakan tertentu).
  7. Kecerdasan intrapersonal. Kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami diri yang akurat (kekuatan dan keterbatasan diri); kesadaran akan suasana hati, maksud, motivasi, temperamen, dan keinginan, serta kemampuan berdisiplin diri, memahami dan menghargai diri.
  8. Kecerdasan Naturalis. Keahlian mengenali dan mengategorikan spesies—flora dan fauna—di lingkungan sekitar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada fonomena alam lainnya(misalnya, formasi awan dan gunung gunung) dan bagi mereka yang dibesarkan di perkotaan, kemampuan membedakan benda tak hidup, seperti mobil, sepatu karet, dan sampul kaset CD.

Prof Liek Wilardjo -fisikawan dari UKSW- berpandangan Menurutnya, anak-anak berbakat dan berotak cemerlang perlu mendapatkan perhatian khusus agar mereka dapat menumbuhkembangkan talenta dan kecerdasannya. Jika anak-anak berakat dijadikan satu dengan anak-anak yang lamban, mereka akan kehilangan semangat belajar karena jenuh dengan proses pembelajaran yang lamban. Sebaliknya, anak-anak yang kurang pandai akan mengalami kerepotan jika dibiarkan bersaing dengan siswa-siwa pintar.

Kelas heterogen justru akan mempersubur mediokritas, di mana anak-anak cemerlang tidak bisa mengembangkan talenta dan kecerdasannya, mengalami stagnasi dan pemandulan intelektual. Sementara anak-anak lamban hanya “jalan di tempat”. Kekhawatiran bahwa siswa yang masuk dalam kelas “gombal” akan dihinggapi rasa minder dianggap terlalu berlebihan, karena baru berdasarkan asumsi yang belum diuji kebenarannya. Pengelompokan siswa lamban di dalam kelas tersendiri – seperti halnya yang terjadi di Inggris – justru diyakini dapat memudahkan penanganannya secara khusus. Pandangan Prof Liek Wilardjo senada dengan Conny R Semiawan (1992) tentang perlunya pengembangan kurikulum berdiferensiasi, di mana peserta didik yang berkemampuan unggul perlu mendapatkan perhatian khusus.

Menurut Prof Conny, kurikulum berdiferensiasi dapat mewujudkan seseorang sesuai dengan kemampuan yang ada padanya, dapat menghadapi masalah dan kompleksitas kehidupan yang berubah akibat peningkatan teknologi dan perubahan nilai-nilai sosio-kultural. Pro-kontra tentang kelas unggulan semakin menarik disimak ketika belakangan ini juga muncul program yang hampir sama, yaitu kelas akselerasi, di mana anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi bisa menamatkan belajarnya lebih cepat. Misalnya, SLTP/SMU bisa ditempuh hanya dua tahun.

Tiap tahap pertumbuhan Mempunyai ciri-ciri tertentu, karena tiap tahap pertumbuhan itu memiliki ciri-ciri tertentu hal ini dapat membantu pendidik untuk mengatur strategi pendidikan dengan kesiapan anak muda untuk menerima, memahami dan menguasai bahan pendidikan sesuai dengan kemampuan. Jadi strategi pendidikan untuk siwa Sekolah Taman Kanak-kanak akan berbeda dengan strategi yang diperuntukkan siswa Sekolah Dasar. Demikian juga dengan jenjang persekolahan yang lain.

Dasar psikologis berkaitan dengan prinsip-prinsip belajar dan perkembangan anak. Pemahaman terhadap peserta didik, utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, hasil kajian dan penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan. Sebagai implikasinya pendidik tidak mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik, sekalipun mereka memiliki kesamaan. Penyusunan kurikulum perlu berhati-hati dalam menentukan jenjang pengalaman belajar yang akan dijadikan garis-garis besar pengajaran serta tingkat kerincian bahan belajar yang digariskan. Pemahaman tumbuh kembang manusia sangat penting sebagai bekal dasar untuk memahami peserta didik dan menemukan keputusan dan atau tindakan yang tepat dalam membantu proses tumbuh kembang itu secara efektif dan efisien.

  1. Ujian Nasional Menunjukan disparitas hasil. Dari sudut pandang landasan sosialogis mengapa disparitas itu terjadi? Uraian dengan contoh hasil ujian nasional akan dapat memperjelas jawaban anda?

Jawaban :

Landasan Sosiologi

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya. Jadi sosiologi mempelajari bagaimana manusia itu berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya dan bagaimana susunan unit-unit masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain. Dengan kata lain sosiologi berkaitan dengan aspek sosial atau masyarakat. Sosiolologi mempunyai empat perenan yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Empat peranan sosiologi tersebut adalah berperan dalam proses penyesuaian nilai-nilai dalam masyarakat, berperan dalam penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat, berperan dalam penyediaan proses sosial, dan berperan dalam memahami keunikan individu, masyarakat dan daerah.

Landasan Sosiologis Pendidikan

Sejalan dengan uraian di atas, landasan sosiologis mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa kita harus memusatkan perhatian kita pada pola hubungan antara pribadi an antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun dan dama, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham integralistik. Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya masing-masing, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. (Usman dan Alfian, 1992:255). Dampak individualisme menimbulkan cara pandang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat selalu menang dalam bersaing dengan yang kuat sajalah yang dapat eksis.
Berhadapan dengan paham di atas adalah paham kolektivisme yang memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya.
Menurut Soepomo (Laboratorium IKIP MALANG, 1993) dalam masyarakat yang menganut paham integralistik; masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat. Sedangkan menurut Soeryanto Poespowardoyo (Oesman & Alfian, 1992) masyarakat integralistik mnempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi, namun juga merupakan relasi.

Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia orang perorang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

- Tujuan – tujuan pendidikan nasional

Sebagai usulan untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan pembangunan pendidikan dalam GBHN 1998, berikut ini diusulkan tujuan-tujuan pendidikan nasional sebagai bahan kajian yang diusulkan untuk diberlakukan pada tahun 2000-2005. Acuan konsep dan prioritas pembangunan nasional, yang dititikberatkan pada bidang ekonomi, seiring dengan kualitas sumberdaya manusia (yang paling tidak: (1) lebih terdidik; dan (2) dipersiapkan pada sektor-sektor potensial yang mampu mendukung laju pembangunan ekonomi yang berwawasan iptek) adalah rujukan utama untuk secara generatif menurunkan tujuan-tujuan pembangunan pendidikan berikut ini.

Menuntaskan pelaksanaan WAJAR DIKDAS 9 tahun pd. tahun 2005, sekaligus meningkatkan akses ke pendidikan prasekolah dengan memperhitungkan kematangan emosional (Emotional Intelligence) sebagai faktor kesiapan belajar (ready to learn) ke jenjang pendidikan dasar. Antisipasi permasalahan yang diakibatkan oleh dampak krismon nampak semakin fenomenal. Terdapat sekitar 5 juta siswa satuan pendidikan SD dan SLTP yang belum kembali ke sekolah, saat tahun pelajaran dimulai di bulan Juli 1998. Namun demikian, Wajar Dikdas 9 tahun adalah komitmen pemerintah terhadap pembangunan SDM yang harus berhasil. Upaya-upaya untuk menggembalikan mereka ke sekolah dan menuntaskan Wajar Dikdas 9 Tahun pada tahun 2005 harus dipandang sebagai konstanta pembangunan yang tidak berubah. Selain itu, adanya persepsi yang sama di kalangan para akhli pendidikan di seluruh dunia tentang - kesiapan anak untuk belajar saat memasuki jenjang pendidikan dini- memberikan penekanan tentang betapa semakin pentingya pendidikan pra-sekolah. Perluasan pendidikan yang mulai digalakkan untuk pendidikan pra sekolah sudah saatnya menjadi salah satu program pembangunan pendidikan.

Dalam sistem Pendidikan Nasional yang disahkan presiden 8 Juli 2003 (Nomor 20 tahun 2003), pendidikan menjadi prioritas utama yang harus dilaksanakan pemerintahan pusat hingga daerah yang bertujuan untuk memajukan negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta terlepas dari krisis multidimensi yang membelenggu negara sejak tahun 1997. Perhatihan pemerintahan terhadap dunia pendidikan begitu besar sehingga pemerintahan melalui Menteri Pendidikan Nasional dan dibantu oleh Badan Standarisasi Nasional Pendidkan (BSNP) membuat langkah kegiatan pembelajaran pada Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP) meningkatkan mutu pendidkan dalam tahapan kegiatan pembelajaran.

Untuk menanggulangi hal tersebut, didalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku sekarang, fokus dalam pembelajaran hendaknya pendekatan pemecahan masalah. Masalah tersebut mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. (Permendiknas Nomor 22: 2006)

KTSP dikembang dan dijabarkan oleh guru ditransferkan dalam bentuk belajar mengajar disekolah sebagai institusi yang dilegalkan pemerintah untuk menjalankan program dan tujuan pemerintah dalam mencerdaskan bangsa dan negara. Guru merupakan seniman yang memberikan gaya tersendiri bagaiman cara belajar yang aktif, efektif dan kreatif. Guru menjadi contoh dan panutan siswa dalam kehidupan sehari-hari yang menjadikan siswa lebih mempunyai sopan santun dan daya saing didunia luar serta masa depan.

Disparitasi adalah perbedaan antara kompunen satu dengan komponen yang lain. Disparitasi terjadi beberapa factor antara sosiologi daerah yang berbeda dengan sosiologi pendidikan.

Terjadinya dispertasi Unjian Nasional (UN) dikarenan :

Pertama, yang banyak ditentang adalah UN dijadikan salah satu faktor kelulusan siswa. Kalau sekolah, setelah melalui berbagai pertimbangan dan penilaian proses perkembangan selama hampir tiga tahun, menyatakan seorang siswa lulus tetapi UN tidak lulus maka keseluruhan penilaian dan evaluasi proses perkembangan selama tiga tahun oleh sekolah (guru) yang telah merekam dan memperhatikan berbagai keunikan, kekurangan, dan kelebihan individu menjadi sia-sia dan tidak bermakna…siswa tetap tidak lulus.

Kedua, disparitas diabaikan. Disparitas bisa merujuk kepada fasilitas sekolah yang beragam; ada sekolah yang memiliki akses mudah, fasilitas lengkap, sumber dana yang cukup, dan guru-guru yang sudah memenuhi kualifikasi dan kompetensi profesional seperti dituntut undang-undang yaitu minimal Sarjana (S1). Sebaliknya banyak sekolah yang kekurangan dalam segala hal termasuk pendanaan yang sulit dan tidak pasti serta jumlah guru yang sedikit dan bahkan jarang ada di sekolah. Dengan realitas disparitas ini jelas UN sulit dilaksanakan dengan standar yang dibuat dan ditetapkan di Jakarta, meski angka kelulusan dipatok tidak terlalu tinggi, bahkan (sangat) terlalu rendah untuk suatu standar…

Ketiga, keunikan diabaikan. Keunikan merujuk kepada anak atau peserta didik. Prof Howard Gardner, pakar kecerdasan majemuk, mengatakan: “We are not all the same, we do not all have the same kinds of minds, and education works most effectively for most individuals if. . .human differences are taken seriously.” Teori ini telah mengubah banyak pandangan dan paradigma para pendidik mengenai anak didik, dari pandangan satu kecerdasan menjadi banyak kecerdasan, tapi UN mengasumsikan peserta memiliki kerangka berfikir dan karakteristik yang sama dan tidak mengindahkan perbedaan-perbedaan alami yang ada pada manusia (siswa) seperti dijelaskan teori ini. Pada saat yang sama, para guru telah bersusah payah mengakomodasikan keunikan siswa ini dengan berbagai pendekatan dan metoda dalam mengajar pada akhirnya mereka tidak memiliki wewenang untuk meluluskan atau tidak meluluskan siswanya.

Keempat, korban. Siswa banyak yang menjadi korban praktek UN baik sebelum maupun sesudah UN berlangsung. Sebelum UN, siswa dipaksa di-drill dengan soal-soal UN tahun sebelumnya dan pelaksanaan pembelajaran menjadi mirip dengan bimbel yang sangat mengutamakan proses kognisi belaka serta hanya berorientasi kepada pemecahan masalah atau problem solving dan melupakan proses afeksasi. Tips dan Trik menjadi menu belajar siswa sebelum ujian. Mudah ditebak proses belajar menjadi kering, menegangkan, melelahkan, dan tidak menyenangkan. Dalam konteks ini jelas sekali siswa menjadi korban ambisi penyelenggara pendidikan.

Pengelompokan masyarakat.

Iklim persekolahan kita memang menghadapi persoalan yang sangat kompleks. Di satu sisi ada banyak hal yang masih harus diperbaiki, tapi di sisi lain masyarakat persekolahan tidak punya banyak pilihan.. Lantas apa yang mesti dilakukan. Ada beberapa pilihan yang dapat diambil.

Pertama, menuntut Depdiknas beserta jajaran instansi di bawahnya merevisi ulang kebijakan yang diambil dengan membuat kebijakan yang berkeadilan dan tidak diskriminatif.

Kedua, Dinas Pendidikan Provinsi dan Kanwil Depag membuat penjadwalan baru yang menyatukan ujian sekolah dengan ujian nasional.

Ketiga, ini yang paling minimal, masyarakat menyampaikan keberatan, kritik dan saran kepada pihak pengambil kebijakan bahwa keputusan yang diambil terkait penyelenggaraan ujian nasional dan ujian sekolah tidak bijaksana dan diskriminatif, ke depan hendaknya lebih berhati-hati dan mau membuka ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan.

Daftar pustaka

http://qym7882.blogspot.com/2009/03/landasan-pendidikan.html

http://pendidikandasar.wordpress.com/2009/08/31/mengapa-kontra-uan/

http://erjhe.wordpress.com/2009/03/28/setiap-anak-terlahir-jenius-keluarga-merusak-kejeniusan-mereka/

http://fatamorghana.wordpress.com/2008/07/12/bab-iii-landasan-dan-asas-asas-pendidikan-serta-penerapannya/

http://menulisbuku.wordpress.com/page/2/

http://lidahtinta.wordpress.com/2009/05/09/konsep-dan-dampak-pendidikan-bagi-peserta-didik/

http://www.psb-psma.org/content/blog/manajemen-pengembangan-kurikulum

http://indonetasia.com/definisionline/?p=728

1 komentar:

  1. makasih banget ya... artikel ini sangat membantu saya. mudah2an blog ini makin maju!!!!!

    BalasHapus