Senin, 28 Desember 2009

SARANA BERPIKIR ILMIAH

SARANA BERPIKIR ILMIAH

Disusun Oleh : Andri Yanto

A. Pendahuluan

Tadi malam di rumah pak Pulan ada pencuri dan Polisi segera diberitahukan. Komandan polisi yang datang memimpin pemeriksaaan, sebuah jendela belakang dibongkar oleh pencuri itu. Dari jendela inilah mereka masuk piket Komandan. Dengan segera ia tahun bahwa yang mencuri itu lebih dari satu, karena dilihatnya dua macam jejak di bawah jendela itu. Tahukah tuan, barang-barang apa yang dicuri, Tanya Komandan Polisi kepada pak Pula. Sebuah Radio, satu set Komputer jawab pak Pulan.

Dari cerita ini ada proses berpikir. Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang kita kehendaki.

J.S.Suriasumantri (1997) mengatakan bahwa manusia merupakan homo sapiens, makhluk yang berpkir. Setiap saat dari hidupnya, sejak dia lahir sampai masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti berpkir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut dengan perikehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal paling remeh sampai soal paling asasi”.

Berpikir merupakan ciri utama bagi manusia, untuk membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Maka dengan dasar berpikir, manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berpikir merupakan proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. Akal merupakan salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran di samping rasa dan kehendak untuk mencapai kebaikan. Berfikir menurut Salam (1997 : 139) adalah suatu aktivitas untuk menemukan pengetahuan yag benar atau kebenaran. Berpikir dapat juga diartikan sebagai proses yang dilakukan untuk menentukan langkah yang akan ditempuh.

Maka dalam arti yang luas kita dapat mengatakan berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi. Sedangkan dalam arti yang sempit berpikir adalah meletakan atau mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraks.

B. Sarana Berpikir Ilmiah

“Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan”. Oleh karena itu, proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan diperlukan sarana tertentu yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah.

Tim dosen filsafat ilmu, Fakultas filsafat UGM (2008) : mengatakan bahwa Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya juga diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa: “[1] Bahasa Ilmiah, [2] Logika dan metematika, [3] Logika dan statistika. Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain. Logika dan matematika mempunyai peran penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum”.









Gambar 1. Hubungan Berpikir Ilmiah

dengan Bahasa, Matematika, logika dan Statistik

(menurut tim dosen filsafat ilmu, Fakultas Filsafat UGM)


Berfikir yang disampaikan salam (1997:139) adalah suatu aktifitas untuk menemukan pengetahuan yang benar atau kebenaran. Berpikir dapat diartikansebagai proses yang dilakukan untuk menentukanlangkah yang akan ditempuh. Ilmiah adalah ilmu. Jadi berpikir ilmiah adalah proses atau aktivitas manusia untuk menemukan atau mendapatkan ilmu yang bercirikan dengan adanya :

  1. kausalitas
  2. analisis
  3. sistesis

Dalam epistemology atau perkembangan untuk mendapatkan ilmu, diperlukan adanya sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah ini adalah alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Jadi fungsi sarana berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah untuk mendapat ilmu atau teori yang lain .

Hal-hal yang perlu diperhatikan dari srana berpikir ilmiah adalah

1. sarana berpikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah

2. Tujuan mempelajari metode ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah.

Adapun sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, logika, matematika dan statistika. Keempat sarana berpikir ilmiah ini sangatberperan dalam pembentukan ilmu yang baru.

Salam (1997) : Syarat suatu ilmu adalah bila ilmu itu sesuai dengan pengetahuan dan sesuai dengann kenyataannya, atau dengan kata lain suatu ilmu itu berada si dunia empiris ddan dunia rasional, seperti yang tertera pada bagan 1. andaikan ilmu itu bergerak dari khasanah ilmu yang berada di dunia rasional, kemudian ilmu itu mengalami proses deduksi. Dalam proses deduksi ini, sarana berpikir ilmiah yang berperan adalah logika dan matematika. Di sini teori-teori yang ada dapat diakitkan dengan fenomena-fenomena sehingga terjadi hipotesis atau dugaan, dalam hal disebut sebagai ramalan. Ramalan ini perlu diuji melalui perlu melalui tahapan pengujian. Tahapan pengujian dilakukan dengan menggunakna metode ilmiah. Dalam proses pengujian dilakukan pengumpulan fakta-fakta di lapangan atau di dunia empiris. Selanjutnya dilakukan pengujian dengan berbantuan sarana berpikir ilmiah statistik, sehinggga terjadi proses induksi untuk mendapat khasanah ilmu yang lain. Proses ini akan berulang terus akan berulang terus, sehingga ilmu tersebut selalu berkembang untuk mendapatkan ilmu yang baru atau ilmu yang lain. Proses perkembangan ilmu ini berbentuk siklus yang dapat dilihat pada bagan berikut.





Gambar 2. Perkembangan Ilmu : salam (1997)

Menurut Hujair AH. Sanaky : “Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: berpikir alamiah dan berpikir ilmiah. Berpikir alamiah, pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya [katakan saja : penalaran tentang api yang dapat membakar]. Berpikir ilmiah, pola penalaran berdasarkan sasaran tertentu secara teratur dan cermat [dua hal yang bertentangan penuh tidak dapat sebagai sifat hal tertentu pada saat yang sama dalam satu kesatuan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik sangat didukung oleh penguasaan sarana berpikir dengan baik pula. Maka dalam proses berpikir ilmiah diharuskan untuk mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah menyadarkan diri kepada proses metode ilmiah baik logika deduktif maupun logika induktif. Ilmu dilihat dari segi pola pikirnya merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif. Demikianlah proses terjadinya atau terbentuknya ilmu dan peran sarana berpikir ilmiah.

C. Bahasa

Salam (1997) : bahasa dicirikan sebagai ;

  1. serangkaian bunyi yang digunakan sebagai alat komunikasi;
  2. lambang dari seragkaian bunyi yang membentuk arti tertentu

Dengan bahasa manusia dapat mengkomunikasikan segenap pengalaman dan pemikiran mereka. Pengalaman dan pemikiran yang berkembang membuat bahasa pun ikut berkembang.

Kemampuan berbahasa adalah salah saatu keunikan manusia. Bahasa diperlukaan manusia atau berfungsi sebagai :

  1. alat komunikasi atau komunikatif
  2. alat budaya yang mempersatukan manusia yang menggunakan bahasa tersebut atau fungsi kohesif.

Didalam Salam (1997) fungsi komunikasi bahasa terdapat 3 unsur bahasa, yang menggunakan untukmenyampaikan : perasaan (unsur emotif), sikap ( afektif ) dan buah pikran ( unsur penalaran). Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh fungsi oleh ketiga unsur bahasa ini. Perkembangan ilmu dipengaruhi oleh fungsi penalaran dan komunikasi bebas dari pengaruh unsur emotif. Sedangkan perkembangan seni dipengaruhi oleh unsur emotif dan efektif.

Syarat komunikasi ilmiah adalah :

  1. bahasa harus bebas emotif
  2. reproduktif artinya komunikasinya dapat dmengerti oleh yang menerima.

Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan.

Kekurangan bahasa terletak pada :

  1. Peranan bahasa yang multifungsi, artinya komunikasi ilmiah hanya. Mengingikan penyampaian buah pikiran /penalaran saja. Sedangkan bahasa verbal harus mengandung unsur emotif, afektif dan simbolik.
  2. artinya yang jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membanngun bahasa
  3. konotasi yan bersifat emosional.

Aliran-aliran dalama filsafat bahasa menurut salam (1997) :

  1. Filsafat modern

Filsafat ini menyatakan bahwa kebanyakan dari pernyataan dan pertanyaan ahli filsafat timbul dari kegagalan.

  1. Filsafat Analitik

Bahasa bukan saja hanya sebagai alat bagi berpikir dan berfilsafat tetapi juga sebagai bahasa dan dalam hal tertentu merupakan hasil akhir daari filsafat.

D. Matematika

Kamus Filsafat (1996) Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan. Lambang yang ada pada matematika bersifat artifisial artinya lambang itu mempunyai arti jika sudah diberi makna.

J.S.Suriasumantri (1997) mengatakan Kekurangan yang ada dalam bahasa verbal dapat diatasi dengan menggunakan matematika dalam berkomunikasi ilmiah. Hal ini dimungkinkan karena Matematika itu bersifat :

  1. jelas
  2. spesifik
  3. informatif, dan
  4. tiak emosional

Matematika mengembangkan bahasa kantitatif, karena dapat melakukan pengukuran secara eksak, sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan control dari ilmu. Oleh sebab itu matematika dibutuhkan oleh setiap ilmu. Matematika mengembangkan cara berpikir deduktif artinya dalam melakukan penemuan ilmu dilakukan berdasarkan premis-premis tertentu. Pengetahuan yang ditemukan hanyalah didasari atas konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah sebelumnya yang telah ditemukan.

Perkembangan ilmu dapatt dibagi dalam tiga tahap yaitu :

  1. tahap sistematika

dalam tahap ini ilmu menggolongkan unsur-unsur empiris kedalam kategori tertentu.

  1. tahap komparatif

melakukan perbandingan antara objek yang satu dengan yang lain

  1. tahap kuantitatif

mencari hubungan sebab akibat

Matematika pada dasarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Kebenaran dalam matematika tidak dibuktikan secara empiris melakukan secara penalaran deduktif.

Tahapan perkembangan matematika menurut Griffit dan Howson (1974), yaitu :

  1. Matematika yang berkembang pada peradapan Mesir kuno dan sekitarnya.

Menggunakan aspek praktis matematika yang berpadu dengan aspek mistik dari agama.

  1. Matematika yang berkembang pada peradaban Yunani. Menggunakan aspek estetik yang merupakan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional.

Aliran Filsafat Matematika

  1. Filsafat Logistik, yang menyatakan bahwa eksistensi Matematika merupakan cara logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris.
  2. Filsafat Intusionis
  3. Filsafat Formalis

E. Logika

Menurut Bakry. Hasbullah (1981) Perkataan logika berasal dari kata “logos” bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran yang benar. Kalau ditinjau dari segi logat saja, maka ilmu logika itu berarti ilmu berkata benar atau ilmu berpikir benar. Dalam bahasa Arab dinamakan ilmu manthiq yang berarti ilmu bertutur benar. Bagus, Lorens, (1996) Dalam Kamus Filsafat, logika – Inggris – logic, Latin: logica, Yunani: logike atau logikos [apa yang termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis, dapat dimengerti]. Kusumah, Yaya S. (986) : Dalam arti luas logika adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah.

Logika adalah jalan pikiran yang masuk akal, definisi ini dirujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:680). Logika disebut juga sebagai penalaran. Menurut Salam penalaraan memiliki kriteria kebenarannya masing-masing.

Ciri-ciri penalaran memiliki :

  1. pola berpikir yang disebut logika
  2. analitis dalam berpikir.

Louis O. Kattsoff (1986) : Logika sebagai cabang filsafat adalah cabang filsafat tentang berpikir. Logika membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui cara atau aturan-aturan tersebut dapat menghindarkan diri dari kesalahan dalam mengambil keputusan. Logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu dan kadang-kadang logika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang penarikan kesimpulan.

Logika sama tuanya dengan umur manusia, sebab sejak manusia itu ada manusia sudah berpikir, manusia berpikir sebenarnya logika itu telah ada. “Hanya saja logika itu dinamakan logika naturalis, sebab berdasarkan kodrat dan fitrah manusia saja. Manusia walaupun belum mempelajari hokum-hukum akal dan kaidah-kaidah ilmiah, namun praktis sudah dapat berpikir dengan teratur. Akan tetapi bila manusia memikirkan persoalan-persoalan yang lebih sulit maka seringlah dia tersesat. Misalnya, ada dua berita yang bertentangan mutlak, sedang kedua-duanya menganggap dirinya benar. Dapatlah kedua-duanya dibenarkan semua? Untuk menolong manusia jangan tersesat dirumuskan pengetahuan logika. Logika rumusan inilah yang digunakan logika artificialis.

Bakry. Hasbullah (1981) mengatakan Logika bukan ilmu yang baru muncul, perumusan kaidah-kaidah logika untuk berpikir benar dipelopori Aristoteles yang hidup pada tahun 348-322 SM, dengan bukunya Organon yang berarti instrument [alat], alat untuk berpikir benar. “Aristoteles dianggap sebagai pelopor pembukuan pengetahuan logika. Tidak berarti belum Aristoteles belum ada kaidah-kaidah berpikir yang benar [logika]. Sebenarnya di negara-negara Timur Kuno [Mesir, Babilon, India, dan Tiongkok], diakui telah terdapat semacam kaidah-kaidah berpikir yang dianggap benar, hanya saja belum teratur sistematikanya seperti rumusan logika Aristoteles.

Bakry. Hasbullah (1981) : Logika induktif, merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut dengan logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan. Oleh karena itu kesimpulan hanyalah kebolehjadian, dalaam arti selama kesimpulan itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar.

J.S.Suriasumantri (1997) : Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Misalnya, jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November tahun ini juga akan turun hujan. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun hujan”. Maka kesimpulan yang ditarik secara induktif dapat saja salah, meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya adalah sah, namun dapat saja kesimpulannya salah. Sebab logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang.

Untuk berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L.Searles [1956], diperlukan proses penalaran sebagai berikut: [1] Langkah pertama, mengumpulan fakta-fakta khusus. Metode khusus yang digunakan observasi [pengamatan] dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, eksperimen terjadi untuk membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari. [2] Langkah kedua, dalam induksi ialah perumusan hipotesis.

Bakry. Hasbullah (1981) : Hipotesis merupakan dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih lanjut. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut: harus dapat diuji kebenarannya, harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan konsekuensinya, harus runtut dengan dalil-dalil yang dianggap benar, hipotesisi harus dapat meenjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan. [3] Langkah ketiga, dalam hal ini penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah sekedar perumusan dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin banyak bahan bukti yang diambil makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Demikian sebaliknya, makin sedikit bahan bukti yang mendukungnya semakin rendah tingkat kesulitannya. Memverifikasi adalah membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup generalisasi, untuk menemukan hukum atau dalil umum, sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu teori. [4] Langkah keempat, teori dan hukum ilmiah, hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah untuk sampai pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logis bagi generalisasi dengan tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagia semua hal harus merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.









Gambar 3 : Langkah Proses Penalaran

Bakry. Hasbullah (1981)

D. Statistika

Kasmadi, Hartono, dkk. 1990 : Statistika merupakan bagian dari metode keilmuan yang dipergunakan dalam mendiskripsikan gejala dalam bentuk angka-angka, baik melalui hitungan maupun pengukuran. Dengan statistika kita dapat melakukakn pengujian dalam bidang keilmuan sehingga banyak masalah dan pernyataan keilmuan dapat diselesaikan secara faktual.

Suriasumantri, Jujun S. (1997) mengatakan Peluang merupakan dasar dari teori stistika. Konsep statistik sering dikaitkan dengan distribusi variable yang ditelaah dalam suatu populasi terrtentu. Statistik sering diganakan dalam penelitian ilmiah. Ilmiah dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Suatu pernyataan ilmiah adalah bersifat faktual, dan konsekuensinya dapat diuji dengan baik dengan jalan menggunakan pancaindra, maupun dengan memeperrgunakan alat-alat yang memebantu pancaindra tersebut. Pengujian mengharuskan penelitia untuk menarik kesimpulan yang bersifat individual. Penarikakan kesimpualn ini berdasarkan logika induktif. Dipihak lain penyususnan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yaiu deduksi dan induksi. Logika deduktif berpaling pada matematika dan logika induktif berpaling pada statistik. Statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpualan yangn ditarik tersebut, makin besar contoh atau sample yang diambil maka makintinggi tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Statistika juga memberikan kemampuan untuk mengetahui suatu hubungan kausalitaantara dua atau lebih faktor yag bersifat kebetulan atau memeng benar-benar terkait dalam hubungan yang bersifat empiris.

Suriasumantri, Jujun S. (1997) : Statistika merupakan sarana berpikir ilmiah yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Statistika membantu melakukan proses generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan. Dimana pengujian statistika adalah konsekuensi pengujian secara emperis. Karena pengujian statistika adalah suatu proses pengumpulan fakta yang relevan dengan rumusan hipotesis. Artinya, jika hipotesis terdukung oleh fakta-fakta emperis, maka hipotesis itu diterima sebagai kebenaran. Sebaliknya, jika bertentangan hipotesis itu ditolak”. ...Maka, pengujian merupakan suatu proses yang diarahkan untuk mencapai simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Dengan demikian berarti bahwa penarikan simpulan itu adalah berdasarkan logika induktif.

Gie, The Liang, (199): Pengujian statistik mampu memberikan secara kuantitatif tingkat kesulitan dari kesimpulan yang ditarik tersebut, pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil makin tinggi pula tingkat kesulitan kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Karakteristik ini memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian yang dibutuhkan sesuai dengan hakikat permasalahan yang dihadapi. ...Selain itu, statistika juga memberikan kesempatan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kesulitan antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat emperis.

E. Penutup

Dari berbagai uraian yang dikemukakan di atas, penulis mencoba memberikan beberapa ringkasan sebagai berikut : [1] Dalam kegiatan atau kemampuan berpkir ilmiah yang baik harus menggunakan atau didukung oleh sarana berpkir ilmiah yang baik pula, karena tanpa menggunakan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melakukakan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik. [2] Cara berpikir ilmiah dilakukan dengan penggunaan statistika dalam proses berpikir ilmiah, sebagai suatu metode untuk membuat keputusan dalam bidang keilmuan yang berdasarkan logika induktif. Karena statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif. [3] Berpkir induktif, bertitik tolak dari sejumlah hal-hal yang bersifat khusus untuk sampai pada suatu rumusan yang bersifat umum sebagai hukum ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta.

Bakry, Hasbullah, 1981, Sistimatika Filsafat, Widjaja, Jakarta,

Depdiknas, 2003. KamusBesar Bhasa Indonesia. Edisi ketiga Jakarta : Balai Pustaka

Gie, The Liang, 1991, Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi kedua [diperbaharui], Liberty, Yogyakarta.

Kasmadi, Hartono, dkk., 1990, Filsafat Ilmu, IKIP Semarang Press, Semarang.

Kattsoff, Louis O. 1986, Pengantar Filsafat, Terjemahan Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Kusumah, Yaya S., 1986, Logika Matematika Elementer, Bandung.

Hujair AH. Sanaky, 2008. Sarana Berpikir Ilmiah, UIN Sunan Kali Jaga. Yogyakarta.

Puswanto, M. Ngalim, 1992, Psikologi Pendidikan, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Salam, Buhanuddin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Rineka Cipta

Suriasumantri, Jujun S., 1997, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Suriasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer : Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Wojowasito, S.,– W.J.S. Poerwadarminto, 1980, Kamus Lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris, Hasta, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar